Tampilkan postingan dengan label Cerpen Remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Remaja. Tampilkan semua postingan

15 Desember 2015

Dibalik Dusta

Di Balik Dusta

By: Evie

Memangnya orang sepertiku tidak boleh sekolah di sini? Memangnya cuma anak orang kaya aja yang boleh sekolah di SMU terkenal? Memangnya aku tidak layak mendapat teman sebaik Reva? Kenapa mereka selalu bersikap sinis terhadapku. Aku tidak pernah melakukan hal yang membuat mereka jadi benci atau tidak suka padaku.

“Udahlah, Adit dan Virni itu kan cs banget, cuekin aa kalo mereka lagi ngeledek kamu,” ujar Reva saat melihat teman-teman sekelas mulai meledekku.

“Aku tahu, aku sadar diri kok,” jawabku pelan.

“Jangan dimasukin ke hati ya, nanti juga mereka capek sendiri,” hibur Reva.

Aku tersenyum tipis. Dari ratusan anak yang bersekolah di sini cuma Reva yang baik hati. Beasiswa yang kudapat dari orang tua-asuh akulah yang membuatku bisa sekolah. Ayahku hanya penjaga rel kereta api sedang ibu tidak bekerja. Kalo bukan karena kebaikan Pak Surya, sahabat ayah yang sudah sukses, mungkin aku dan kedua adikku tidak bisa sekolah setinggi ini.

Kadang aku tidak kuat mendengar ledekan teman-teman sekelas. Mereka selalu memanggilku Neng cewek kampung atau Neng penjaga rel kereta. Keinginanku untuk belajar dan kebaikan Reva lah yang membuatku bertahan melewati semua ini. Tidak jarang Reva harus adu mulut jika sedang membelaku. Ia memang sahabat yang baik dan tak pernah sekalipun malu berteman denganku. Meski cantik, kaya dan cukup poluler di sekolah tapi ia sering mengajakku makan di kantin sekolah atau jalan ke mal. Aku senang sekali berteman dengannya.

“Neng, nanti pulang duluan aja ya, aku ada janji sama Ryan.”

“Iya, salam ya buat Ryan.”

Aku memandang kagum sosok di hadapanku ini. Sudah cantik, baik, pintar punya pacar ganteng dan baik seperti Ryan pula. Ryan juga tidak sombong padaku jika kami bertemu, ia selalu ramah dan baik. Mereka memang pasangan yang serasi.

***

Sudah tiga hari ini ibu sakit. Walau sudah di bawa ke dokter tapi panas yang dideritanya tetap tidak turun. Aku takut ibu terkena tipes. Persediaan uang di rumah semakin menipis. Anjuran Bule Ratmi tetanggaku, ibu harus di bawa ke rumah sakit untuk menghindari hal-hal yang membahayakan. Ayah sudah pusing mencari uang. Ia berusaha untuk cari pinjaman dari kantor tapi tidak dapat karena potongan hutang ayah belum selesai. Kedua adikku masih kecil, mereka belum bisa aku ajak berunding untuk mengatasi masalah ini.

Satu-satunya jalan, aku harus bekerja. Tapi kerja apa? Aku masih harus sekolah. Kucoba bertanya pada toko-toko di pasar yang kulewati tiap pulang sekolah. Apakah mereka membutuhkan karyawan tapi hasilnya nihil. Aku semakin bingung. Keadaan ibu semakin parah, aku malu untuk pinjam ke tetangga karena udah banyak hutang keluargaku pada mereka.

“Berapa hari ini kamu sering melamun, ada apa Neng?” tanya Reva menyandarkanku dari lamunan.

“Eh, gak ada apa-apa,” jawabku bohong.

“Cerita aja kali, siapa tahu aku bisa bantu,” ujarnya seperti tidak percaya dengan jawabanku.

Aku tersenyum tipis. Apa aku harus cerita pada Reva? Ah tidak! Sudah puluhan kali ia membantu keluargaku. Minggu kemarin, ia baru membelikan baju seragam dan sepatu baru untuk kedua adikku. Kalau cerita ia pasti akan membantu. Tidak boleh! Ia sudah terlalu baik.

Siang yang panas, aku dan Reva menunggu bus di halte depan sekolah. Biarpun ia kaya tapi tetap tidak mau diantar jemput. Ia lebih suka naik bus ke sekolah.

“Neng, aku duluan ya!” sserunya setelah melihat bus jurusannya datang.

“Hati-hati!” teriakku melihatnya berlari mengejar bus.

Tiba-tiba mataku tertuju pada amplop putih yang jatuh seiring dengan tubuh Reva yang loncat ke dalam bus. Aku segera mendekati dan mengambilnya. Benar ini milik Reva karena tertulis namanya di sana. Amplop cukup tebal itu dilem. Kulihat isinya ternyata lembaran uang lima puluh ribuan yang lumayan banyak. Huh, untung saja jatuhnya di dekatku bukan di atas bus. Segera kumasukkan uang itu ke dalam tas.

Panas ibu makin tinggi. Kedua adikku mulai menangis. Mereka takut kehilangan ibu, sedang ayah hanya terpekur menatap wajah ibu yang pucat pasi. Hatiku resah, apakah uang milik Reva harus kugunakan untuk membawa ibu ke rumah sakit lalu nanti baru kujelaskan bahwa aku meminjamnya. Tanpa pikir panjang aku segera menyuruh ayah memapah tubuh ibu dan membawanya ke rumah sakit. Saat ayah tanya aku dapat uang darimana, aku bilang pinjam dari teman.

Syukurlah, ibu tidak terlambat ditolong. Kata dokter kalau sehari lagi ibu tidak dirawat mungkin nyawanya sudah hilang. Lega sekali rasanya melihat ibu bisa lebih segar walaupun masih lemah. Kecemasanku seminggu ini sedikit demi sedikit berangsur hilang.

***

“Duh Neng, aku lagi bete nih!” seru Reva sesaat baru datang.

“Kenapa? Berantem sama Ryan, ya?” godaku.

“Bukan, kemarin pulang sekolah aku kecopetan.”

“Kecopetan? Di mana? Apanya yang dicopet?” berondongku.

“Bukan dompet tapi uang dalam amplop, tadinya uang itu mau aku bayarin buat pendaftaran kursus eh dicopet dalam bus, apes deh!” keluhnya.

Uang dalam amplop? Berarti uang yang kemarin aku temukan. Bukankah hari ini aku messti bilang padanya kalau uang itu ada padaku dan aku pakai untuk berobat ibu. Tapi tadi Reva bilang uang itu dicopet, apa berarti ia menganggap uang itu sudah hilang?

“Trus dimarahin sama mama dong?” tanyaku memancing reaksinya.

“Gak terlalu sih, aku dibilang sembrono taruh uang sembarangan, padahal naik angkutan umum,” ujarnya setengah menggerutu.

“Kamu kesal gak sama pencopetnya?”

“Kamu nanyanya aneh deh! Ya kesel lah emang cari uang gampang. Mencuri itu kan dosa, biarin ajalah mau marah juga gak bikin uang balik.”

“Kalo tiba-tiba pencopet itu balikin uangnya gimana?”

“Neng... Neng, kamu tuh lucu banget deh. Hari gini gitu loh! Mana ada tukang copet dengan rela hati mau balikin barang yang sudah dicurinya,” serunya seraya menertawakan pertanyaanku.

Kutatap kembali wajahnya yang terlihat santai. Aku yakin, buat keluarga Reva kehilangan uang segitu tidak terlalu berarti. Tapi, walau bagaimanapun aku tidak ada bedanya dengan pencopet. Uang Reva yang seharusnya aku kembalikan malah kupakai. Hatiku gundah, perasaan bersalah mulai muncul dalam hatiku. Apakah aku harus terus terang padanya? Tapi melihat Reva tidak terlalu risau atas kehilangan itu, hatiku jadi ragu. Apa kubiarkan saja ia menganggap uang telah hilang?

“Neng, kamu kenapa sih bengong terus?” tegur Reva sambil menyentil hidungku.

Aku tersenyum tipis menanggapi gurauannya.

Setelah tiga hari diopname akhirnya ibu diperbolehkan pulang. Seluruh uang milik Reva terpakai untuk melunasi biaya pengobatan ibu.

“Neng, gimana kita mengganti uang milik teman kamu itu?” tanya ayah setelah melihat ibu sudah beristirahat.

“Teman Neng baik, yah! Katanya kita bisa kembalikan kapan saja,” jawabku berbohong.

“Apa Reva lagi yang menolong kita?”

“Bukan, Yah! Kita sudah terlalu banyak ditolong reva. Neng malu untuk terus-terusan minta bantuan darinya.”

“Iya juga, Reva itu baik sekali. Bersyukurlah kamu punya teman seperti dia.” Kata-kata ayah menghantam hatiku. Reva memang sangat baik, akulah bukan teman yang baik. Kebaikannya kubalas dengan dusta. Harusnya aku jujur padanya dari awal. Aku yakin ia pasti membantuku. Tapi nasi sudah jadi bubur, kalau aku ceritakan padanya sekarang bisa jadi ia malah berprasangka buruk padaku.

Setiap melihat Reva aku selalu ingat akan hal itu. Perasaan bersalah kian hari kian menggunung di hati. Meski Reva nampaknya sudah melupakan peristiwa itu tapi tidak denganku. Melihat kebaikannya, aku semakin terkungkung dengan perasaan berdosa. Apa yang harus kulakukan?

Perasaan itu akhirnya membuatku takut untuk berdekatan dengannya. Sekarang aku lebih sering menghindar dan menolak tiap kali ia mengajakku jalan atau bercanda seperti biasanya. Aku takut ia bisa membaca kebogonganku. Aku takut ia marah padaku. Aku takut ia benci padaku jika tahu akulah yang memakai uangnya.

“Sebenarnya aku salah apa sama kamu, Neng?” tanyanya saat memaksaku makan bareng di kantin.

“Salah? Kamu gak punya salah apa-apa sama aku,” jawabku heran.

“Udah beberapa minggu ini sikap kamu berubah, kamu jarang ngobrol denganku, kamu sering nolak bila aku ajak pergi, kamu larang aku main ke rumah kamu, apa aku melakukan tindakan yang bikin kamu sakit hati?” tanyanya panjang lebar.

“Bukan... bukan itu, kamu gak pernah punya salah apa-apa sama aku, cuma memang akhir-akhir ini aku sedang sedikit gelisah,” ujarku gugup.

“Gelisah? Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta?” guraunya.

“Bukan, aku... aku...,” lidahku kelu untuk berkata jujur tentang hal yang sebenarnya.

“Ya udah kalo belum siap cerita, tapi yang penting bukan karena kau kan?”

Aku menggeleng lemah. Duuh... Tuhan, kenapa kejujuran itu sangat mahal harganya. Sampai kapan aku harus menanggung perasaan bersalah ini? Sampai kapan aku harus terus berpura-pura tidak ada apa-apa di hadapannya? Maafkan aku, Reva. Aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik buat kamu. Sekali lagi maafkan aku.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 48 tahun VIII . 14 – 20 Desember 2009 . Hal 26)

2 November 2015

Reinkarnasi Ubi


Reinkarnasi Ubi

By: Swistien Kustantyana

Kalian percaya reinkarnasi? Well, aku tidak. Setidaknya dulu aku nggak percaya reinkarnasi. Bagaimana aku akan percaya kalau yang bilang itu Bimbim, sahabatku.

Dulu, Bimbim yang tinggi besar pernah dengan sangat serius mengatakan ini ke aku, “Ubi, kamu pingin tahu nggak, di kehidupanku yang dulu aku ini apa?”

Aku menatapnya heran, Bimbim jarang sekali serius, “Memang kamu percaya reinkarnasi?”

“Oh, pasti dong,” Bimbim menatapku tanpa berkedip.

“Oh ya?” tanyaku penasaran. Ide tentang kehidupan kita yang dulu sebelum kita yang sekarang memang terdengar gila bagi telingaku.

“Iya,” Bimbim berusaha meyakinkanku.

“Trus kamu siapa di kehidupanmu yang dulu?” Aku masih penasaran.

“Kulkas dua pintu,” jawab Bimbim pasti.

“Huk, huk,” aku tersedak.

Bimbim menepuk-nepuk punggungku. “Jangan cepet-cepet minumnya...”

“Ya Tuhan.... Kulkas dua pintu? Kok lebih bagus kehidupan kamu yang dulu ya Bim, daripada yang sekarang....”

***

Punya kakak cowok itu ada enak dan enggaknya. Enggak enaknya itu aku nggak bisa pinjam baju, aksesoris, dan lainnya. Aku nggak bisa milih bra bareng dia. Dan dia nggak bakalan ngerti kalau aku nyengir kesakitan pas mens.

Oh ya, kakakku satu-satunya itu cowok. Namanya Robby dan umurnya 24 tahun. Panggilan sayang buat dia tentu saja Obi. Sedangkan aku baru kelas satu SMA. Namaku Ruby. Bagus kan? Tapi sayangnya aku harus pasrah dapat panggilan sayang Ubi. Jadilah kami berdua kakak adik Obi dan Ubi.

Sore tadi aku baru ngerasain enaknya punya kakak cowok. Kak Obi pulang bawa temannya. Dan O Mai Got, temannya itu keren abis. Kulitnya putih, rambutnya gondrong, hidungnya mancung, wuih pokoknya keren!

“Lagi ngapain sih kamu?” suara Kak Obi membuyarkan kosentrasiku menatap si Keren.

“Eh, Oh, mau pinjem CD Lady Gaga,” kataku sekenanya. Aku yang membuka pintu kamar Kak Obi dengan sembrono langsung tertegun melihat si Keren ini duduk manis di tempat tidur.

Kak Obi mengambil CD itu dan mengulurkannya padaku. “Oh iya, Gab, kenalin nih adik gue,” ucap Kak Obi sambil melirik Gab.

“Gabriel,” Pangeran tampan itu mengenalkan diri sebagai Gabriel.

“Ruby,” senyuman termanisku kutampilkan.

Setelah aku berlari masuk kamarku, aku memikirkan kata-kata Bimbim tentang reinkarnasi. Kalau dulu pernyataan Bimbim tentang kulkas dua pintu sangat meragukan, sekarang aku yakin seyakin-yakinnya Gabriel itu reinkarnasi Galang Rambu Anarki.

Kalian tahu dia? Galang, maksudku. Dia anak Iwan Fals yang digosipkan meninggal karena overdosis tahun 1997. Loh kok aku tahu? Ya karena Kak Obi salah satu fans beratnya. Poster Galang tertempel di salah satu bagian dinding kamar Kak Obi. Dan tadi baru saja kulihat reinkarnasi Galang. Gabriel benar-benar mirip Galang. Wajahnya, gayanya, semuanya deh. Nama mereka pun berawal dengan huruf G. Reinkarnasi itu benar-benar ada ya?

***

Sore itu setelah pulang dari ekstrakulikuler jurnalistik, aku dan Bimbim mampir ke sebuah kedai hamburger. Aku betul-betul penasaran pada reinkarnasi. Aku ingi bertanya banyak kepada Bimbim. Aku juga ingin cerita tentang Gabriel. Intinya, aku ingin curhat.

“Bim, dia itu beneran mirip Galang Rambu Anarki!” Celotehku bersemangat. Kedua tanganku memagang Teriyaki yang tinggal separuh. Sausnya meleleh keluar. “Aku yakin seyakin-yakinnya, Bim. Kalau si Gabriel itu reinkarnasi Galang,” kataku mantap. Kutatap Bimbim yang sibuk mengunyah Onion Ring.

Bimbim tertawa. “Jadi ceritanya, kamu sekarang percaya reinkarnasi, nih?” Bimbim mencomot satu lagi Onion ring, menyelupkannya ke saus, dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Sebetulnya ya nggak begitu percaya sih. Dari kulkas dua pintu trus jadi kamu. Mungkin di kehidupan selanjutnya kamu jadi gajah kali ya, Bim?”

“Iya, kali.” Bimbim menyahut sambil terus melahap Onion Ring. Itulah enaknya punya teman Bimbim. Dicela sejuta kali tiap hari pun dia tabah dan pasrah. Bimbim tak pernah marah.

“Aku heran, Bim. Memang jaman dulu udah ada kulkas dua pintu ya?” Aku membayangkan kehidupan Bimbim di masa penjajahan Belanda. Bimbim yang berupa kulkas dua pintu tampak cantik dan berdiri di pojokan ruang makan. Setiap hari melayani satu keluarga besar sinyo-sinyo Belanda.

“Aih. Pake dipikir segala. Diterima aja kenapa sih kalau aku memang kulkas dua pintu di kehidupan yang dulu,” protes Bimbim.

“Iya, deh.” Aku meneguk lemon tea-ku. “Bim, aku jadi pengen tahu. Gabriel itu betulan reinkarnasi Galang bukan ya?” Tiba-tiba aku teringat Gabriel lagi. Aku betul-betul penasaran karena Gabriel pun banyak bakat bermain musik seperti Galang. Kak Obi yang cerita kemarin.

“Ada satu paranormal yang bisa kita tanyai. Dia bisa melihat kehidupan kita yang dulu.”

“Bim, itu paranormal yang bilang kamu kulkas dua pintu, bukan?” Tanyaku ragu. Jika jawaban Bimbim “Iya”, lebih baik aku tidak bertanya. Aku tidak mau menerima jawaban seperti, “kamu reinkarnasi panci.”

“Bukan,” sahut Bimbim.

“Syukurlah.” Aku menarik napas lega. “Kapan kita ketemu dia, Bim?”

“Besok sore aja ya. Namanya Kak Nina. Dia masih saudara sepupuku. Jadi nggak perlu bayar. Tapi kalau pelanggan lain bayarnya lumayan mahal lho.”

Aku menggangguk senang. Aku tak sabar lagi menunggu besok sore. Aku ingin tahu apakah Gabriel itu reinkarnasi Galang atau bukan. Aku juga ingin tahu aku ini sebenarnya reinkarnasi apa. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan di kehidupanku dulu aku adalah reinkarnasi sebongkah batu ruby yang cantik. Mungkin batu itu berada dalam sebuah kotak beludru yang mewah dan disimpan di laci meja seorang puteri kerajaan. Atau mungkin aku jadi sebuah koleksi langka museum di luar negeri. Ah, Ruby yang cantik. Yang berkilauan. Yang berharga mahal. Aku tersenyum lagi.

***

“Apa?” Kak Obi memandangku tak percaya. “Reinkarnasi Galang Rambu Anarki? Gabriel?” Kak Obi mengulangi lagi kalimat yang kulontarkan beberapa menit yang lalu. Tatapan Kak Obi membuatku malu. Seolah-olah aku makhluk paling idiot yang pernah dia temui gara-gara aku bilang Gabriel reinkarnasi Galang Rambu Anarki.

“Kamu percaya reinkarnasi?” Tatapan Kak Obi masih diliputi rasa ketidak-percayaan yang sangat besar.

“Sedikit,” jawabku ragu.

“Lalu kamu sendiri reinkarnasi apa kalau begitu?” Tantang Kak Obi. Matanya bergerak-gerak. Senyumnya mulai terpasang.

“Entah. Nanti sore Ubi mau pergi sama Bimbim. Ketemu paranormal. Mau tanya tentang Gabriel dan juga reinkarnasi Ubi,” ujarku ceria. Entah mengapa ide untuk ketemu Kak Nina nanti sore menjadi sebuah ide yang sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya.

Kak Obi tampak menahan tawa. “Oke, titip salam ya buat paranormalnya. Kalau boleh, tanyakan juga aku ini reinkarnasi apa walaupun toh sebenarnya aku sudah tahu aku ini reinkarnasi apa.”

“Memang apa?” Sahutku cepat. Tak kusangka Kak Obi juga sudah tahu reinkarnasinya dulu.

“Aku reinkarnasi Kenshin Himura.” Kak Obi terbahak-bahak.

“Kriuk. Garing. Nggak lucu,” kataku sambil cemberut. Aku ngeloyor pergi meninggalkan Kak Obi yang masih saja terbahak-bahak.

Kak Obi memang punya dua luka gores membentuk huruf X di kening. Persis seperti Kenshin Himura si Samurai X. Bedanya ya itu Kenshin lukanya di pipi dan besar, sedangkan Kak Obi di kening dan kecil.

Sore hari....

“Kenapa sih kamu ngotot pengin tahu tentang reinkarnasi Gabriel?” senyum Kak Nina yang terkembang manis membuatku salah tingkah.

“Umm, nggak apa-apa, Kak. Pengin tahu aja,” aku tertawa kecil.

“Kamu naksir Gabriel ya?” Tanya Kak Nina lagi.

“Alahhh.... Kalau itu sih nggak perlu bantuan paranormal untuk tahu. Semua juga tahu Ubi jatuh cinta sama Gabriel,” sahut Bimbim.

Wajahku panas. Bimbim sialan. Tega-teganya dia mempemalukan aku di depan Kak Nina.

“Ya udah nggak usah dijawab,” Kak Nina menepuk-nepuk telapak tangan kananku. “Mana tanganmu,” kata Kak Nina lagi sembari mengambil kedua telapak tanganku dan membaliknya. Untuk beberapa saat Kak Nina terdiam. Keningnya berkerut. Aku jadi deg-degan.

“Kulihat kamu dan Gabriel memang pernah ketemu di masa lalu.” Kata Kak Nina sambil menatapku. Diletakkannya tanganku di meja, tak lagi dalam genggamannya.

“Oh ya?” aku melonjak gembira. “Apa itu berarti kami berjodoh juga di masa sekarang dan masa depan? Apakah aku jadi istrinya Gabriel?” Semangatku begitu menggebu.

Bimbim terkikik. Aku mendelik ke arah Bimbim.

Kak Nina hanya tersenyum. “Wah kalau itu Kakak belum tahu. Tadi kan bilangnya cuma pengin lihat reinkarnasimu dan Gabriel di masa lalu.”

“Satu-satu dulu dong, Bi,” kata Bimbim masih terkikik.

Aku pun malu. “Oke, Kak. Jadi reinkarnasiku dulu apa? Gabriel apa?” Lalu aku membayangkan mungkin aku bukan reinkarnasi batu ruby. Mungkin aku reinkarnasi kekasih Galang yang dulu, Ine Febriyanti. Eh, tapi kan Ine masih hidup ya? Aku menggelengkan kepalaku. Berarti bukan Ine.

“Gabriel dulu itu seorang petani di sebuah desa,” kata-kata Kak Nina membuyarkan lamunanku.

“Haaaaa?” Aku terkejut. Bimbim terbahak-bahak.

“Dan kamu itu sepotong ubi di kebun Gabriel yang kemudian dikukus dan dimakannya...,” suara Kak Nina terdengar ceria.

Aku melongo. Bimbim tertawa histeris.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 26)

28 September 2015

Harusnya Aku...

Harusnya Aku...

By: Seti An Naruti

Widi terbangun saat mendengar bunyi hapenya. Siapa yang sepagi ini berani mengusik tidurnya? Padahal hari ini kan hari Minggu.

“Halo?” sahut Widi tanpa semangat dengan mata tertutupnya.

“Widi, ini aku.”

Wisnu?! Rasa kantuk Widi langsung menghilang begitu mendengar suara cowok itu.

***

Diva selingkuh? Tega banget! Kurang apa sih Wisnu sebagai pacar? Nggak bersyukur tuh si Diva! Widi memaki dalam hatinya.

Kemarin, pagi-pagi sekali Wisnu mendatangi rumah Widi hanya untuk curhat tentang Diva yang ketahuan selingkuh di depan matanya. Dan Widi seperti ikut merasakan kepedihan yang dirasakan Wisnu. Kasian Wisnu.

“Hey!” Widi pun tersadar dari lamunan.

“Ah, kamu lagi!” gerutu Widi. Wajahnya berubah jutek saat melihat Dido muncul dihadapannya.

“Aku, kenapa?” tanya Dido dengan wajah polosnya.

“Bosen! Kamu nggak ada kerjaan lain selain gangguin aku?!”

“Sayangnya... nggak ada tuh!”

“Uhh, dasar!”

Dido tertawa senang melihat reaksi marah Widi.

“Ngelamunin apa tadi? Kayaknya serius bener. Pasti ngelamunin Wisnu. Dia kan pangeran kamu.”

“Sok tau!” bantah Widi dengan ketusnya.

“Tapi bener kan, tebakan aku?”

“Nggak! Lagian Wisnu tuh bukan pangeran aku. Dia pangeran milik orang lain.”

“Diva maksudnya?”

“Kok kamu tau?”

“Taulah. Wisnu kan...,” Dido tak melanjutkan kata-katanya.

“Wisnu apa?”

“Lupain! Eh, udah tau belom kalo pangeran kamu itu nggak masuk hari ini karena sakit.”

“Wisnu sakit? Masa sih? Tau dari mana kamu?”

“Aku kan temen sekelasnya. Dasar pikun!” kata Dido sambil menoyor kepala Widi lalu bergegas melarikan diri sebelum Widi membalasnya.

Tapi Widi kali ini nggak nafsu untuk membalas perlakuan usil Dido. Dia terlau terkejut mendengar kabar sakitnya Wisnu. Kira-kira Wisnu sakit apa, ya?

***

“Ngapain kamu bengong di situ?” tanya Dido saat menemukan Widi di depan gerbang SMA mereka. “Bukannya cepetan pulang, malah berdiri kayak patung.”

Widi tak menanggapi celotehan Dido. Dia tetap berkosentrasi menghubungi Wisnu. Tapi nomor cowok itu dari tadi pagi sampai sekarang masih nggak aktif juga. Apa aku harus tanya Dido tentang alamat rumah Wisnu?

“Kenapa? Mau ngebesuk Wisnu tapi nggak tau di mana rumahnya?”ledek Dido seolah bisa membaca pikiran Widi.

“Nggak usah sok tau deh!” balas Widi ketus sambil menoyor kepala Dido lalu bergegas pergi. Widi gengsi kalo harus minta tolong sama cowok nyebelin macam Dido!

“Mau aku anterin ke rumahnya Wisnu?” tawaran Dido yang di luar dugaan itu berhasil membuat langkah Widi terhenti.

***

“Kita sampai,” kata Dido mengehentikan motornya lalu berjalan santai masuk ke dalam rumah itu. Hingga membuat Widi bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya ini rumahnya Wisnu atau rumahnya Dido, sih?

“Hei ngapain bengong! Ayo masuk!” ajak Dido terpaksa menghampiri Widi yang terpaku di depan pintu rumah. Lalu menggandeng tangan Widi untuk masuk bersamanya.

“Wisnu!” panggil Dido keras disertai dengan ketukan pintu yang tak kalah kerasnya.

“Berisik banget sih!” omel Widi lalu menoyor kepala Dido.

“Sebodoh amat!” sahut Dido dengan cueknya segera membalas menoyor kepala Widi.

“Ih!” Widi gregetan dengan Dido.

“Apa, ha?!” tantang Dido membalas tatapan jutek Widi.

“Kalian?” pintu terbuka dan Wisnu terkejut dengan kehadiran Widi dan Dido di depan kamarnya. “Kok tumben barengan? Lagi akur nih, kok sampai gandengan segala,” goda Wisnu tersenyum sendiri.

Widi langsung menepis tangan Dido. Dia baru menyadari kalo dari tadi tangannya tak lepas dari tangan Dido.

“Mau nyari kesempatan pegang-pegang aku, ya?!” omel Widi.

“Ih, najis!” sahut Dido nggak kalah ketus.

“Heh, ngapain kamu di situ?! Pulang sana!” usir Widi merasa jengkel saat melihat Dido nyelonong masuk ke dalam kamar lalu dengan santainya tiduran di kasur milik Wisnu.

“Lha, ini kan rumahku. Ngapain harus kamu suruh pulang.”

“Ngarang!”

“Ah, bawel!”

“Kamu...,”

“Hei stop!” kata Wisnu melerai pertengkaran antara Widi dan Dido. “Aku kira kalian udah baikan. Kok masih bertengkar gini. Masuk Wid!” ajak Wisnu menyuruh Widi duduk di karpet bersama dirinya.

“Kamu nggak nyesel tuh. Dido emang gitu kelakuannya. Aku udah biasa. Lagian Dido juga sering kok tidur di kamar aku.”

“Oya? Aku nggak nyangka ternyata kamu seakrab itu sampai-sampai kamu ngebolehin dia nginep di rumah kamu.”

“Ya iyalah akrab. Dido kan sepupu aku.”

“Apa?!” seru Widi kaget seolah tidak mempercayai pendengarannya.

“Oya kamu kan belom tau kalo aku sepupuan ama Dido. Sori deh, aku nggak kepikiran buat ngasih tau kamu.”

***

Hah, yang bener aja masa mereka berdua sepupuan, keluh Widi tiada henti di dalam hatinya. Mulanya dia berencana bertahan lama di rumah Wisnu. Tapi setelah mengetahui kenyataan pahit kalo Wisnu dan Dido adalah saudara sepupu, membuat Widi nggak nafsu lagi mengobrol lama dengan Wisnu. Selain itu dia juga nggak betah ngeliat Dido lama-lama. Huh, bersama dengan Dido dalam satu ruangan hanya membuatnya eneg. Lebih baik cepetan pulang ke rumah.

“Diva?!” seru Widi tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat menemukan Diva tengah duduk di ruang tamu rumahnya.

***

“Tolongin aku Wid, aku nggak rela putus dari Wisnu. Aku masih cinta dia. Aku ngerti aku salah karena berselingkuh. Tapi... aku nyesel! Aku khilaf! Aku minta kamu mau bantuin aku untuk baikan sama Wisnu. Kamu sahabatnya dan Wisnu pasti mau ngedengerin omongan kamu. Plis, tolongin aku Widi.”

Permintaan tolong Diva yang bernada mengenaskan tadi siang membuat Widi kepikiran sampai-sampai matanya sulit terpejam malam ini.

“Aku harus bagaimana? Apa aku harus merelakan Wisnu kembali pada Diva?” tanya Widi pada dirinya sendiri.

***

“Mau curhat apaan sih? Tumben ngajakin ngobrol di taman,” tanya Wisnu.

“Bukan aku yang mau ngobrol sama kamu.”

“Lha, terus siapa?”

“Diva...,” kata Widi bersamaan munculnya Diva di tengah-tengah mereka berdua. Membuat mata Wisnu terbelalak tak percaya.

“Wisnu, aku tau kamu masih cinta sama Diva. Karena putus sama dia sampai-sampai membuat kamu jatuh sakit. Kalo kamu beneran cinta, kamu harus bisa memaafkan kekhilafan Diva. Bukankah cinta itu memberi maaf seluas samudra? Berilah Diva kesempatan kedua agar dia bisa memperbaiki kesalahannya,” kata Widi dengan bijak sambil menyatukan tangan Wisnu dengan tangan Diva. Lalu dia pun pergi dengan luka di hatinya. Kalo memang kebahagiaan Wisnu bersama Diva, Widi harus mau merelakannya. Toh Wisnu tak akan pernah tau bahwa sebenarnya Widi menyimpan cinta untuknya. Wisnu akan selalu menganggap dia sahabat. Hanya sahabat.

“Kamu mau apa?” Widi buru-buru menyeka air matanya saat melihat Dido mendadak sudah di hadapannya.

Tak ada jawaban apa-apa dari Dido. Cowok itu hanya menatap tajam kepada Widi. Tatapan serius yang tak pernah Widi lihat sebelumnya.

“Mau kamu apa, sih?!” tanya Widi jengkel karena Dido menahan langkahnya dengan cara mencekal pergelangan tangannya.

“Lepasin! Lepasin aku! Aku...,”

Deg!

Widi berhenti meronta. Jantung Widi serasa berhenti berdetak untuk sesaat karena secara tiba-tiba Dido menarik tangannya kuat hingga membuatnya jatuh ke dalam pelukan cowok itu.

“Aku tau kamu terluka karena Wisnu. Aku tau kamu sangat menyukai Wisnu. Aku....,” Dido tak melanjutkan kata-katanya karena mendengar Widi terisak.

“Harusnya aku yang ada di sisi Wisnu. Harusnya aku yang ada di pelukannya. Harusnya aku yang dia cintai. Karena aku selalu ada untuknya. Bukannya Diva.

Harusnya aku bukan hanya sekedar sahabat untuknya...,” kata Widi penuh emosi. Kini tangisnya benar-benar pecah dan membasahi seluruh kemeja seragam Dido.

Dido hanya diam sambil terus mengelus-elus rambut Widi. Seolah ingin menenangkan.

“Harusnya aku yang pantas kamu cintai sepenuh hati. Harusnya aku yang kamu rindukan dan kamu harapkan cintanya. Bukannya Wisnu! Harusnya aku bukan hanya kamu anggap sebagai musuh. Harusnya kamu tau bahwa sebenarnya aku selalu mengusikmu hanya untuk mendapatkan perhatian lebih darimu. Harusnya aku... tak boleh memendam perasaan suka ini padamu,” batin Dido.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 37 tahun IX. 27 Sept – 3 Okt 2010. Hal 26)