Tampilkan postingan dengan label Cerpen Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Anak. Tampilkan semua postingan

10 Desember 2019

Satu Kata, Satu Perbuatan


Satu Kata, Satu Perbuatan

By: Widya Suwarna

Waktu istirahat, Mimi bercakap-cakap dengan Aida, Siska dan Yanti. Mereka membicarakan rencana menengok Hera yang dirawat di rumah sakit karena operasi usus buntu.

“Jadi, kalian ke rumahku saja. Di depan rumahku, ada halte bus. Kita bisa menunggu bus di sana. Jam empat ya, kumpul di rumahku!” kata Aida. 

Ilustrasi: Roedyriff

“Baiklah, dari rumahmu kita naik taksi saja, nanti aku yang bayar. Tidak enak berdesak-desakan naik bus dan tidak pakai AC!” kata Mimi.

“Wah, itu lebih enak!” kata Siska dengan gembira.

“Tetapi kalian jangan terlambat. Kalau terlambat, nanti ditinggal, lo!” pesan Mimi.

“Iya, bosss!” jawab Yanti. Anak-anak itu tertawa.

Bel masuk berbunyi. Anak-anak masuk ke dalam kelas. Mereka sedang menyalin catatan IPA di papan tulis ketika terdengar bunyi ringtone HP dengan nada lagu Potong Bebek Angsa.  Anak-anak tertawa. Dering itu berasal dari HP Yanti. Cepat-cepat Yanti mematikan HP-nya.

“Sudah Ibu pesan, kalau di kelas, HP harus dimatikan!” kata Bu Evi. “Ayo, semua yang punya HP, periksa dulu! Sudah dimatikan atau belum!” Semua anak yang memiliki HP memeriksa HP milik masing-masing, termasuk Mimi. Oh, untunglah HP-nya sudah mati.

Sepulang sekolah Bik Minah memberitahu Mimi. “Non Mimi, ada kiriman pos. Saya taruh di meja belajar, Non!”  

“Terima kasih, Bik!” Jawab Mimi. Segera ia masuk ke kamarnya. Di meja belajar ada amplop cokelat tebal.

“Waah, asyik, Tania mengirimkan majalah anak-anak!” seru Mimi bersemangat. Tania adalah saudara sepupunya. Setiap bulan, ia mengirimkan empat atau lima majalah anak-anak. Mimi sudah berlangganan satu majalah anak-anak dan Tania mengirimkan majalah lain. 

Ilustrasi: Roedyriff

“Non, makan dulu!” kata Bik Minah.

“Iya, iya, Bik, memang aku sudah lapar, kok. Nanti, aku mau pergi menengok temanku di rumah sakit!” kata Mimi.  

Setelah makan, Mimi membuat PR, lalu membaca majalah. Demikian asyiknya, sehingga tahu-tahu jam sudah menunjukkan setengah empat. Mimi bergegas mandi, kemudian berangkat ke pangkalan ojek sepeda motor. Namun, tak satu pun ojek yang mangkal. Terpaksa Mimi menunggu. Untung ada satu ojek yang meluncur ke arahnya.

Akan tetapi, jalan ternyata macet. Dia mau mengambil HP-nya dan menelpon. Tetapi, dia ingat, berbahaya menelpon di jalan. Bisa-bisa HP disambar penjahat. Oooh,  rupanya di depan ada satu mobil boks mogok sehingga menghalangi lalu lintas. Juga ada perbaikan jalan sehingga semua kendaraan dialihkan belok ke kiri. Wah, harus memutar, baru bisa sampai ke rumah Aida. 

Ilustrasi: Roedyriff

Akhirnya, Mimi tiba di rumah Aida. Suasana rumah sepi. Dia mengambil HP-nya. Rupanya dia lupa menyalakan HP-nya sepulang sekolah dan kemudian asyik membaca majalah. Ada tiga missed call dari Aida dan tiga dari Yanti. Lalu ada SMS dari Aida:

Mi, maaf, terpaksa kamu kami tinggal. Yanti bawa mobil, tetapi harus segera antar adiknya kursus musik di dekat rumah sakit. Takut terlambat.

Lalu ada satu lagi SMS dari Yanti:

Maaf ya, lain kali, satu kata, satu perbuatan, dong! 

Ilustrasi: Roedyriff

Mimi tertegun. Satu kata, satu perbuatan. Dia sendiri yang bilang jangan terlambat, nanti ditinggal. Sekarang, dia sendiri yang ditinggal, karena kata-katanya tidak sesuai dengan perbuatannya. Dengan lunglai, Mimi duduk di halte bus. Ia mau pulang saja. Mimi tak berani naik taksi sendiri ke rumah sakit. Dia juga tidak mau berdesak-desakan di bus.

Kalimat “satu kata, satu perbuatan” terus menerus timbul dalam pikirannya. Kalimat itu mengingatkan Mimi, supaya jangan hanya bisa omong, tetapi tidak bisa melakukannya.

(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 18-19)

Sopir Becak Misterius


Sopir Becak Misterius

By: Eko Pri Maryanto

Rapor berisi nilai hasil belajar telah dibagikan. Anto puas dengan hasil yang diraih. Selain naik ke kelas VI, gelar juara kelas juga masih dipegangnya. Walaupun berstatus juara kelas, Anto tetap tidak sombong. Nia, adik Anto, juga naik ke kelas IV. Ayah dan Ibu bangga pada mereka.

Pagi itu, Anto dan Nia sudah bersiap melakukan perjalanan. Berkunjung ke rumah Kakek. Mereka sudah terbiasa pergi berdua ke rumah Kakek naik bus, dilanjutkan naik becak. Sudah lama mereka tidak ke rumah Kakek. Anto ingin melihat kolam ikan milik Kakek, sementara Nia ingin membantu Nenek berkebun.

Di dalam bus, Anto menjaga adiknya. Selain pandai, dia juga kakak yang bertanggung jawab. Bus terus melaju sampai di depan pasar kecamatan. Setelah membayar pada kondektur, mereka turun.

Baru beberapa langkah berjalan, seorang abang becak menghampiri mereka. Ia memakai caping.

“Mau kemana, Den? Butuh becak?” sapanya halus.

“Iya, pak. Kami mau ke Desa Keraseni,” jawab Anto.

“Mari, silakan, Den,” kata si abang becak yang wajahnya sedikit tertutup caping.

“Ongkosnya berapa, Pak?”

“Sudah, naik saja. Soal ongkos, gampang.”

“Tidak bisa begitu, Pak.”

“Ya sudah, tarif seperti biasanya saja.”

Karena mereka sudah terlanjur naik, Anto mengalah. Lagi pula, dia sudah diberitahu Ibu. Ongkos becak ke rumah Kakek kira-kira sepuluh ribu rupiah.

“Mau ke rumah siapa, Den?” tanya abang becak memulai pembicaraan.

“Pak, jangan panggil saya Raden. Saya enggak enak. Nama saya Anto dan ini adik saya, Nia. Kami mau ke rumah Kakek,” jawab Anto.

“Liburan kenaikan kelas, ya? Dik Anto kelas berapa?”

“Saya naik ke kelas VI dan Nia kelas IV. Iya, Pak, kami sedang liburan.”

“Bapak juga punya cucu seusia kamu. Anaknya pintar, selalu juara kelas, baik hati, dan tidak sombong. Nilai rapormu bagaimana, Dik?”

“Ah, biasa aja, Pak,” jawab Anto merendah. Padahal, dia juara kelas dengan nilai tertinggi sekabupaten.

“Kalau cucu Bapak, nilai rata-ratanya 9. Dia mendapat beasiswa dan selalu menang lomba cerdas cermat. Tidak seperti kakeknya yang bodoh ini. Bapak bangga padanya.”

Abang becak itu panjang lebar menceritakan cucunya. Anto hanya diam mendengarkan. Anto enggan bercerita tentang dirinya yang sebenarnya juga mempunyai nilai rata-rata 9 dan mendapat beasiswa dari Bapak Bupati. Dia tak mau bercerita karena tidak ingin dianggap sombong.

“Kelak, kalau cucu Bapak datang dari kota, Bapak akan memberinya hadiah. Apa yang dia minta, akan Bapak beri,” kata si abang becak. Anto jadi semakin ingin cepat bertemu kakeknya.

Ilustrasi: Yan B


Karena lelah, Nia tertidur bersandar. Sementara, abang becak masih terus bercerita tentang cucunya. Sebenarnya, Anto penasaran dengan abang becak itu. Setiap kali Anto menoleh ke belakang, dia selalu menunduk, sehingga wajahnya tertutup caping.

Tak terasa, mereka memasuki Desa Keraseni.

“Jika cucu Bapak datang, Bapak akan memberinya apa?”

“Ya, apa saja, asal Bapak mampu. Tahun kemarin, dia Cuma minta korek api antik. Katanya, agar Bapak berhenti merokok.”

Mendengar kata itu, Anto terbelalak. Dulu, ia juga berkata seperti itu pada kakeknya. Dengan refleks, dia meloncat turun, lalu memperhatikan wajah si abang becak. Anto mengenalinya.

“Kakek nakaaal!” seru Anto seraya memeluk abang becak yang ternyata kakeknya itu. Nia terbangun karena mendengar teriakan kakaknya. Di jalan itu, mereka berpelukan.

“Ayo, kita pulang dulu! Nenek sudah menunggu,” ajak Kakek. Mereka melanjutkan perjalanan.

“Kenapa Kakek pakai menyamar segala?”

Ilustrasi: Yan B


“Kemarin ibumu menelpon Tante Neni. Katanya, kamu mai datang. Kemudian, Kakek putuskan menyewa becak Pak Hadi untuk menjemput sang juara.”

“Kakek ada-ada saja. Pantas, waktu belok di tikungan tadi, becaknya hampir terbalik,” kata Anto.

“Ternyata, abang becak gadungan! Ha ha ha...” sambung Nia. Semua tertawa.

“Ayah ibu kalian sudah cerita tentang kalian pada Kakek. Ternyata, cucu-cucu Kakek tumbuh hebat. Tidak sombong serta selalu ingat kakek dan neneknya.”

Mereka pun sampai di rumah lalu saling melepas rindu.

(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 32-33)

Keributan di Suatu Sabtu


Keributan di Suatu Sabtu

By: Maria Wiedyaningsih

Deni dan Chrisna terpana memandang Andromeda. “Jadi, dia namanya Andromeda?” tegas mereka bersamaan.

Li-El mengangguk, membelai-belai Andro. Nama panggilan Andromeda memang Andro. Li-El terheran-heran saat mendapati Deni dan Chrisna masih saja bengong.

“Kemarin, kupikir Andromeda seorang anak,” gumam Deni garuk-garuk kepala.  

Kemarin Petra menelpon Li-El, menceritakan kebingungannya. Semua orang di rumah Petra akan pergi sampai Sabtu esok. Tidak mungkin Andro sendirian dalam waktu lama.

Tentu Li-El menawarkan diri menjaga Andro. Saat itu, rupanya Deni dan Chrisna mendengar percakapan Li-El. Mereka menyangka Andromeda nama seorang anak.

“Aku sudah kuatir kalian akan sama-sama menangis,” lanjut Chrisna geli.   

“Uuuh ... kalau itu kan, kamu. Kalian passti berduet menangis,” balas Li-El lucu.

li-El, Deni, dan Chrisna tertawa. Berduet menyanyi, sih asyik didengarkan. Tetapi, menangis bersama-sama?  

“Huh, masa nama kucing lebih keren dari namaku,” komentar Deni, pura-pura kecewa.

Lagi-lagi mereka tertawa. Andro benar-benar membawa banyak keceriaan. Barangkali, karena Andro sangat manis. Bulu putihnya benar-benar lembut. 

Ilustrasi: Yoan


Li-El, Deni dan Chrisna senang sekali Andro mengikuti mereka kemana-mana. Termasuk main basket esok harinya. Li-El bertanding melawan Chrisna, sementara Deni menjadi wasit.

“Aku pasti menang. Sekarang aku tidak cuma didukung Choco, tapi juga Andro. Iya, kan, Andro?” Li-El menengok ke arah Andro.  

Kening Li-El berkerut saat tidak mendapati Andro di samping lapangan. “Ke mana Andro?”

“Oh, tadi aku memberinya makan di halaman samping,” jelas Chrisna.

Bertiga mereka pergi ke halaman samping. Ternyata Andro tidak ada ada di sana. Mereka bertiga berpandangan. Segera saja mereka pergi ke halaman depan. Ketiganya terpana saat melihat pintu pagar terbuka.   

Ilustrasi: Yoan


“Gawat, tadi aku keluar sebentar,” ujar Deni, mulai panik. “Pasti aku lupa menutup pintu.”

“Uuuh, kenapa, sih, Deni ceroboh begitu?” pikir Li-El dalam hati.

Li-El mulai gelisah, tapi berusaha tenang. Mereka bertiga mencari Andro di dalam rumah. Andro tidak ada di mana-mana. Jangan-jangan Andro pergi ke luar. Jangan-jangan Andro tersesat entah di mana? Jangan-jangan mengalami kecelakaan?

Mereka memutuskan berpencar mencari Andro di sekitar rumah. Li-El pergi bersama Mbak Mira, sementara Deni pergi dengan Chrisna.

“Andro ... Andromeda ... pus, puuuus,” Li-El dan Mbak Mira memanggil-manggil.

Setelah sekitar setengah jam mencari-cari, Li-El dan Mbak Mira terpaksa pulang. Li-El mendapati wajah Deni dan Chrisna yang benar-benar cemas.

“Mungkin kalau ita sedikit hati-hat, Andro tidak akan hilang,” ujar Li-El.  

Deni dan Chrisna terbelalak. “Maksudmu, aku seharusnya tidak memberi makan di halaman samping?” ujar Chrisna jengkel.

“Maksudmu, kalau aku menutup pintu, Andro tidak akan hilang?” sambung Deni.  

“Kalau kalian lebih hati-hati menjaga Andro, mungkin Andro tidak akan hilang,” balas Li-El.

“Kamu sendiri sejak pagi tidak peduli pada Andro,” ujar Chrisna kesal.

Li-El terbelalak. Kenapa justru dia yang disalahkan? “Aku akan mencari Andro lagi,” Li-El tidak bisa menyembunyikan kekesalannya.

Mereka kembali pergi dengan tegang.

Li-El mencari-cari dengan lunglai. Bagaimana jika Andro benar-benar hilang? Bagaimana nasibnya? Lalu ... apa yang harus dikatakannya pada Petra? Petra pasti marah padanya. Lalu, kenapa Deni dan Chrisna menyalahkannya? Rasanya mereka lebih bersalah.

“Andro ... Andromeda ... pus ... puuus ...,” panggil Li-El putus asa.

Li-El dan Mbak Mira terduduk lesu. Bagaimana ini? Pikirnya bingung.

“Miaaaw ...!”

Pasti Li-El sangat ingin bertemu dengan Andro, sampai-sampai dia membayangkan mendengar suaranya. Ya ampun, kaki Li-El bahkan bisa merasakan bulu-bulunya yang lembut.

Eh, tapi kenapa bulu Andro terasa betulan, ya?

“Andro!” pekik Li-El terpana. Pelan-pelan dia mengulurkan tangan. Li-El takut jika tangannya menyentuh Andro, Andro akan menghilang.

Ilustrasi: Yoan


“Itu memang Andro, kok.” Li-El mendongak kaget. Deni dan Chrisna sudah ada di depannya! Mereka bertiga berpandangan diam.

Apa yang terjadi pada mereka  bertiga? Kemarin, Andro membuat mereka tertawa-tawa. Hari ini, panik dan cemas membuat mereka bertengkar, saling menyalahkan.

Li-El, Deni, dan Chrisna tersenyum salah tingkah. Coba tadi mereka sedikit lebih tenang. Mungkin mereka tidak perlu merasa malu seperti sekarang.

Mereka berempat pulang dalam diam. Bergantian memeluk Andro. Mungkin Andro membuat awal hari mereka berantakan. Namun, dia mengubahnya menjadi indah sekarang.

(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 10-11)