Tampilkan postingan dengan label Uncategorized. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Uncategorized. Tampilkan semua postingan

19 Juni 2015

Sama-Sama OON!

Sama-Sama OON!

Udah biasa kalo boss kesel sama supirnya. Bukan cuma susah disuruh-suruh, tapi kadang sama karna oon-nya gak ketulungan. Kayak obrolan dua boss besar di bawah ini.

Boss1: “Supir gue parah banget”
Boss2: “Sopir gue lebih parah!”
Boss1: “Pokoknya gak ada yang lebih oon dari sopir gue, deh. Ayo
kita buktikan.”

Boss1 pun segera memanggil sopirnya... dan setelah sang supir itu muncul boss1 langsung memberinya perintah.

Boss1: “Tarno, ini uang 100 ribu. Coba kamu beli mobil sana.”
Tarno: “Siap boss...”

Dan sopir bernama Tarno itu pun meluncur...

Boss1: “Tuh kan liat sendiri sopir gue, oon banget. Mana ada mobil harga seratus ribu???”

Gak mau kalah sama boss1, boss2 pun segera memanggil sopirnya... dan ketika sang supir muncul, boss1 pun langsung memberinya perintah.

Boss2: “Tarjo... coba lihat di rumah, saya ada atau nggak?”
Tarjo: “Siap boss...”
Gak pake tanya lagi, Tarjo pun langsung meluncur.
Boss2: “Tuh kan, yang ini lebih oon. Udah tahu gue di sini... masih
mau ke rumah juga. Bener-bener oon.”

Sementara di luar sana. Tarno dan Tarjo saling mengeluh.

Tarno: “Boss gue bener-bener parah. Udah tahu ini hari libur. Mana ada sih, showroom buka hari gini...”

Tarjo pun gak kalah kebel dibanding Tarno.

Tarjo: “Boss gue lebih parah. Masa dia nyari gue ke rumah, suruh lihat apa dia ada di rumah atau nggak? Kan dia bawa hape, kenapa nggak ditelpon aja ke rumah. Dasar boss oon!”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun XI. 18-24 Juni 2012. Hal 7)

Surat Cinta Penjual Buah & Penjual Sayur

Surat Cinta Penjual Buah & Penjual Sayur

Seorang penjual buah lagi patah hati pada seorang penjual sayur. Ia pun mengirimkan surat yang isinya dipenuhi kata-kata yang berhubungan dengan buah, sesuai dengan profesinya sebagai tukang buah. Isinya begini:

“Wajahmu  Memang  Manggis
Watakmu  Juga  Melonkolis,
Tapi  Hatiku  Nanas  Karena  Cemburu,  Sirsak  Nafasku...
Hatiku  Jadi  Anggur  Lebur,
Ini  Delima  Dalam  Hidupku,
Memang  Ini  Juga  Salak ku,
Jarang  Apel  Di  Malam  Minggu,
Ya  Tuhan,
Mohon  Belimbing-Mu,
Kalo  Memang Per-Pisang-An  Ini  Yang  Terbaik  Untukku,
Semangka  Kau  Bahagia  Dengan  Pria  Yang  Lain
Sawo-Nara.”

Dari: Durianto

Nggak lama kemudian, Si penjual sayur pun membalas surat tersebut, dan ia nggak mau kalah mengungkapkan isi hatinya dengan kata-kata yang berhubungan dengan sayur-sayuran. Bunyinya begini:

“Membalas Kentang Suratmu itu,
Brokoli-Brokoli Sudah Kubilang,
Jangan Tiap Kali Datang Rambutmu Selalu Kucai, Jagungmu Nggak Pernah Dicukur,
Disuruh Datang Malam Minggu, Ehh Nongolnya Malam Hari Labu,
Ditambah Lagi Sama Kondisi Keuanganmu Yang Makin Hari Makin Pare,
Kalo Mau Nelpon Aku Aja Mesti Ke Wortel Dulu,
Terus Terong Aja,
Cintaku Padamu Sudah Lama Tomat,
Jangan Kankung Aku Lagi. Aku mau Hidup Seledri
Cabe Dehhh....!!!”

Salam: Sawitri

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun XI. 18-24 Juni 2012. Hal 7)

14 Juni 2015

Kucing Pengganjal Pintu

Kucing Pengganjal Pintu

Orang kalo lagi buntu alias lagi nggak banyak uang, bawaannya sensi dan pengennya marah-marah melulu. Apalagi kalo orangnya cewek dan lagi datang bulan, yang ada sensi abis. Seperti kejadian yang ditemukan beberapa waktu lalu, berita dari mulut ke mulut.

Ceritanya, ada dua orang aktivis  ̶ ketahuan dari kegiatan yang mereka lakukan ̶  aktif banget menggalang dana. Katanya sih untuk korban bencana. Mulai dari bencana kebanjiran, kebakaran, sampai kena tsunami. Begitu kata sambutan yang selalu mereka ucapkan saat meminta sumbangan ke setiap ornag yang mereka pikir bakal menyumbang.

Kebetulan, aktivis ini adalah cowok dan ada dua orang. Pagi menjelang siang kedua aktivis ini udah tiba di rumahnya Ibu Pelit yang tinggalnya di kawasan Pluit. Kedua anak Ibu Pelit yang masih sekolah di SD Elit, udah pada berangkat. Kebetulan lagi, kedua anak tersebut lagi ada ujian, jadi berangkatnya pagi-pagi sekali.

Lagi asyik-asyiknya Ibu Pelit membereskan rumah, tba-tiba kedua aktivis super giat ini sudah sampe di depan pintu yang kok kebetulan lagi terbuka. Dengan senyum ramah seperti bintang iklan odol terkenal, kedua aktivis ini memberi salam yang hampir berbarengan.

Aktivis       : “Selamat pa.....”
Ibu Pelit : “Nggak mas...! Maaf saya nggak nyumbang...”
Aktivis       : “Anu Ibu.... Kami....”

Belum sempat kedua aktivis menyelesaikan kalimatnya, Ibu itu sudah menutup pintu sambil berlalu, tapi... pintu itu tidak mau menutup.

Karena dipikirnya kurang keras menutupnya, Ibu Pelit mencoba menutup pintu sekali lagi, kali ini dengan tenaga yang lebih besar. Yakin kali ini usahanya akan berhasil, Ibu Pelit langsung melenggang mau meneruskan lagi pekerjaannya yang tertunda, tapi.... pintu rumahnya ternyata tetap terbuka. Dan kesabaran Ibu Pelit pun menyusut drastis.

Ibu Pelit    : “JANGAN DIKIRA SAYA NGGAK TAHU YA!!! Kalian pasti menahan pintu dengan kaki kalian.”

Ibu pelit membentak sambil menuju pintu dan mau membantingnya dengan SANGAT keras, tapi... kedua aktivis itu tiba-tiba berkata.

Aktivis     : “Mendingan ibu batalkan niat ibu sebelum kucing gendutnya ibu pindahkan lebih dulu.”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun X. 13-19 Juni 2011. Hal 10)

Mabuk Teriak Maling

Mabuk Teriak Maling

Di jaman susah, kejahatan makin meraja lela. Tidak hanya barang-barang berharga seperti hape atau mata uang asing yang menjadi incaran maling atau rampok atau bahkan bandit-bandit yang menggunakan hipnotis, barang yang kurang berharga dan ribet pun seperti kaca spion, tape mobil bahkan setir mobil bisa diembat demi ditukar rupiah.

Cerita yang dilansir dari laporan yang masuk ke kantor polisi ini, sumbernya dari bilangan blok M dekat terminal. Seorang cowok menelpon ke polisi dengan nada marah dan kesal.

Cowok     : “Halo... ini kantor polisi? Saya mau melapor!”
Polisi  : “Selamat malam, di sini kantor polisi. Ini bicara dengan siapa?”
Cowok  : “Saya Rambo, di Blok M. Saya mau melapor Pak Polisi. Barang-barang di mobil saya dicuri orang. Tape, CD, porsneling dan setir!”
Polisi  : “Setir???? Baik Pak Rambo, laporan Anda kami terima. Anggota kami akan segera ke sana!”

Tapi gak berapa lama, telepon di kantor polisi tersebut berdering kembali dan ketika diangkat...,

Cowok  : “Halo Pak Polisi, saya Rambo yang tadi melapor telah kehilangan barang-barang yang di dalam mobil saya.”
Polisi       : “Ya, betul. Ada perkembangan apa Pak Rambo?”
Cowok   : “Saya cuma mau bilang semua baik-baik saja. Nggak ada yang hilang dari dalam mobil saya. Saya yang salah. Saya tadi masuknya dari pintu belakang.”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun X. 13-19 Juni 2011. Hal 10)

15 Desember 2014

Kena Batunya

Kena Batunya

Banyak orang menilai sesuatu atau seseorang dari penampilannya. Padahal apa yang kelihatannya bagus belum tentu baik. Dan apa yang tampaknya jelek belum tentu buruk. Sebenarnya gak perlu nunggu sampai kena batunya buat berpikir positif. Kata orang bule, ‘Don’t judge the book by its cover’.

Kena Batunya I

Biarpun pro dan kontra Ujian Nasional masih bisa terbuka, semua harus siap menerima semua kemungkinan yang bakal terjadi. Kalo UN dihapus ya syukur, kalau gak, ya gitu deh. Persis sama dengan dipikirkan bapaknya Budi. Apapun keputusannya pemerintah, sekolah tetap pake biaya dan makin lama-makin mahal. Bagaimanapun anak harus sekolah, biar jadi manusia yang pintar, biar bisa bekerja di perusahaan yang besar dan baik, dan sebagainya dan sebagainya.

So, jangan kaget kalau hampir tiap sore, tiap malam, Budi selalu diingatkan sama bapaknya supaya belajar dengan sungguh-sungguh. Bapaknya Budi pengen banget Budi jadi orang sukses. Jadi manusia mapan, syukur-syukur makmur sampai bisa nolongin saudara-saudaranya atau orang lain yang susah. Tapi nasihat yang terus-terusan itu –karena saking seringnya– malah gak lagi memacu semangat belajar Budi, sebaliknya justru memacu niatnya melakukan protes! Dan akhirnya pada suatu sore, waktu Budi lagi asyik belajar, bokapnya lagi-lagi mengingatkan.

Bapak   : “Bud... kamu kalo belajar yang rajin, yang sungguh-sungguh. Sekarang cari kerja susah. Sarjana aja banyak yang nganggur, tuh!”
Budi        : “Iya, Iya! Ngerti.” (Budi agak sewot karena tadi pagi pun, waktu mau berangkat sekolah, dia dinasihati dengan kalimat yang nyaris sama. ‘Bud kamu sekolah yang bener. Sarjana aja banyak nganggur’)
Bapak : “Eee... dinasihati orang tua malah marah, bukannya didengerin! Bapakmu ini udah kenyang bergaul. Udah banyak makan asam dan garam. Gak usah bantah, deh!”
Budi        : “Bukannya Budi gak mau dengerin omongan Bapak ... tapi Budi kan lagi belajar? Emang Bapak pikir Budi lagi ngapain sih?” (Budi mencoba menahan emosinya, biar gak makin menjadi-jadi)
Bapak  : “Tuh kan! Ngebantah terus! Dibilangin orang tua selalu ngebantah. Tiru Obama tuh! Waktu seumuran kamu, dia kerja keras! Rajin!”
Budi   : “Iya! Budi tahu! Tapi, pas seumuran Bapak, dia jadi presiden...”
Bapak      : (dalam hati) ‘Aduh, mati deh gue!’


Kena Batunya II

Kairun pergi ke mini market dekat rumahnya. Dia mau beli daging kalengan, makanan buat kucing. Sampai di kasir, saat mau membayar, kasirnya bertanya.

“Kalo kakek beli makanan kucing ini, kakek harus bisa buktikan kakek punya kucing. Saya khawatir makanan ini nanti dimakan kakek sendiri,” kata si kasir bernama Bunali.

Kairun gak protes, dia balik ke rumah dan gak berapa lama udah sampe lagi ke mini market sambil menggendong kucing kesayangannya. Dipamerkannya kucing itu ke Bunali.

“Ini kucingku,” kata Kairun sambil membayar makanan kucing yang dia beli.

Besoknya Kairun datang lagi ke mini market. Kali ini dia mau beli biskuit rasa tulang, makanan buat anjing. Tapi saat Kairun sampai di kasir dan mau membayar, lagi-lagi dia ditanya sama Bunali.

“Kakek punya anjing juga? Saya khawatir makanan ini kakek makan juga,” kata Bunali.

Kairun gak protes. Dia balik sebentar dan datang lagi sambil menuntun seekor anjing dan ditunjukinnya ke Bunali.

“Ini anjingku,” kata Kairun sambil membayar biskuit rasa tulang yang dia beli.

Besoknya lagi, Kairun datang ke mini market. Dia menenteng kardus mi yang pinggirnya dilubangi seukuran jari.

“Kakek mau beli makan ular ya?” tanya Bunali sok tahu.

“Ini isinya bukan ular. Masukin aja jarimu kalo gak percaya.”

Mula-mula Bunali agak takut, tapi setelah dirayu-rayu, akhirnya Bunali berani juga. Dia memasukkan jarinya ke lubang kardus tersebut. Ternyata isinya lunak, empuk dan sama sekali gak menggigit. Cuma..., pas Bunali menarik jarinya dari lubang kardus itu, baunya gak enak banget! Bunali langsung menggerutu.

“Dasar kakek-kakek payah! Masa aku disuruh pegang tai ayam?!”

“Sekarang saya boleh beli tisu kamar mandi kan?” kata Kairun tenang.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 48 tahun VIII. 14–20 Desember 2009. Hal 10)

9 November 2014

Kiper Jagoan

Kiper Jagoan

Maul lagi berjalan-jalan di Depok, tiba-tiba dia mendengar seorang ibu berteriak-teriak di sebuah gedung. Di sekitarnya asap mengepul-ngepul. Maul buru-buru lari menuju ke rumah itu, ternyata terjadi kebakaran. Banyak orang berdiri dan melihat pemandangan memilukan itu.

Di pinggir jendela dari bangunan tingkat 10 itu, ibu bernama Siti dengan bayinya, berteriak minta tolong, supaya bayinya ada yang selametin.

Maul : “Lempar bayimu ke bawah, aku akan menangkapnya.”
Siti : “Tidak! Tidak! Kamu akan gagal menangkap bayiku, dan dia bisa mati!”
Maul “Nggak bakalan! Aku Maul Horizontal. Akulah penjaga gawang terkenal. Aku tidak pernah gagal selama 10 tahun ini dalam menangkap apapun, dan aku tidak pernah membiarkan satu bola pun masuk ke gawangku!”
Siti  : “Apa? Tidak sau pun?”
Maul : “Tidak! Tak satu pun! Setiap pemain bola di dunia tahu siapa aku, dan mereka mengakui, akulah penjaga gawang terbaik seluruh dunia yang pernah ada!”

Kemudian Maul menunjukkan gayanya menangkap bola, yang membuat kagum orang-orang di sekitarnya.

Siti : “Ok! Aku percaya kamu. Daripada tidak ada pilihan lain. Ini, tangkap! ”

Maka, si Siti melemparkan bayinya ke arah Maul. Tapi sayang lemparannya gak lurus, jadinya tuh bayi muter-muter jatuhnya dan nggak tentu arah.

Siti pun berteriak ketakutan, tapi si Maul dengan sigap, menangkap bayi itu. Kemudian... diletakkannya bayi itu di atas tanah, lalu dia mundur kebelakang sejauh dua meter. Pelan tapi pasti, dia berlari ke arah bayi itu, dan.... menendangnya sejauh 60 meter.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 43 Tahun IX. 8-14 November 2010. Hal 14)

Cita-Citaku

Cita-Citaku

Suka nggak suka, yakin pada suka, tentang anak-anak jaman sekarang. Yap, gak dibantah lagi anak-anak jaman sekarang lebih kreatif dibanding anak-anak jaman dulu, apalagi di jaman penjajahan ̶  semua anak harus menurut sama ortu ̶  tanpa perlawanan sedikit pun. Makanya nggak aneh waktu medengar cerita salah seorang teman yang nekat membuktikan dirinya menjadi guru. Katanya dia seneng melihat anak-anak sekarang yang cerdas dan kreatif. Salah satu pengalamannya begini: 

Suatu hari, di jam pelajaran bahasa Indonesia, masing-masing siswa ditanyai tentang apa yang jadi cita-cita mereka. Paling pertama ditanyai Encek. Cowok yang napsu makannya bagus banget ini waktu ditanya cita-cita, dia menjadi menjawab. Jadi wartawan. Bu guru yang hobi nulis itu pun senang bercampur penasaran. Dia gak nyangka siswanya yang keliatan cool ternyata lumayan unik. Daripada penasaran, Bu Guru pun nanya lagi, kenapa kamu ingin jadi wartawan Encek? Dengan senyum-senyum Encek menjawab dengan ringan, biar sering makan gratis.

Bu guru yang kebetulan rumahnya tetanggaan sama tempat tinggal Encek itu pun inget Henry, Kakaknya Encek yang jadi wartawan di salah satu majalah remaja. Orangnya tinggi besar dan sering banget meliput acara launching sama kuliner. Henry yang setahun lalu badannya masih langsing seperti model, saat ini udah seperti ibu-ibu yang hamil muda saking endutnya.

Siswa lainnya yang juga ingin ditanya cita-citanya adalah Desi. Cewek yang rada pendiem tapi sering senyum-senyum sendiri itu, belum ditanya udah berdiri dan bilang kalau dia bercita-cita jadi ibu rumah tangga yang baik dan sayang anak-anak. Bu Guru pun senang, dia ikut senyum-senyum mendengar Desi menerangkan apa yang jadi cita-citanya.

Belum sempat ibu guru yang gaul ini bicara, Candra seorang murid cowok yang duduk gak jauh dari Desi langsung menyambar. “Saya juga punya cita-cita Bu Guru. Cita-cita saya..., Saya akan membantu Desi meraih cita-citanya,” dan Bu Guru pun tersenyum manis sekali.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 43 Tahun IX. 8-14 November 2010. Hal 14)

2 November 2014

Cuma Goceng


Cuma Goceng

Sampai sekarang yang namanya bebek goreng masih saja banyak yang doyan. Gak hanya bebek Yogi yang menjual bermacam-macam makanan siap makan, dengan bahan baku bebek, tetapi juga Donal Bebek, sampai Justin Bebek. Semua meramaikan bisnis bebek.

Baim, salah seorang peternak sapi yang lagi sepi di bilangan Sulawesi ini pun akhirnya banting stir bisnis ternak bebek. Usahanya sukses, banyak warung bebek yang mengambil bebek dari peternakan kepunyaan Baim. Tidak kaget kalau akhirnya petugas pemerintah pun mulai melirik Baim.

Petugas: “Hey, kamu kasih makan apa, bebek-bebek ini?”
Baim     : “Ya, makanan sisa-sisa Pak.”
Petugas: “Gak bisa, kalo kamu masih kasih bebek ini makanan asal-asalan, ijin kamu kami cabut!”

Akhirnya Baim sadar, dia pun terburu-buru memberikan uang 10 ribu ke petugas dan berjanji akan mengganti makanan bebeknya dengan yang lebih baik.

Baim : “Buat beli rokok. Nanti makanan bebeknya saya ganti yang bagus.”

Kira-kira sebulan berikutnya, petugas itu pun datang lagi dan menanyakan hal yang sama, makanan bebek.

Petugas: “Hey, kamu kasih makan apa, bebek-bebek ini?”
Baim   : “Makanan bergizi Pak. 4 sehat 5 sempurna!”
Petugas: “Gila kamu. Masih banyak orang yang kelaparan di luar sana, kamu ngasih makan bebek dengan makanan 4 sehat 5 sempurna? Kamu mau ijin peternakan bebek kamu dicabut?!”
Baim : “Buat beli rokok. Nanti makanan bebeknya saya ganti yang cocok.”

Kira-kira sebulan berikutnya, petugas itu pun datang lagi dan menanyakan hal yang sama, makanan bebek.

Petugas: “Hey, kamu kasih makan apa, bebek-bebek ini?”
Baim   : “Aku bingung, mau kasih makanan tapi takut salah. Akhirnya masing-masing aku kasih goceng!
Petugas:????

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 14)

Biar Dapat Sejuta

Biar Dapat Sejuta

Minggu lalu, salah seorang keponakan teman, namanya Via lagi merayakan ulang tahun ke-6. Yang datang banyak banget, dari Mbah Kung, Mbah Uti, Pak De-nya, Pak Lik-nya, Om dan Tante yang entah dari mana asalnya semua mendadak seleb. Semuanya ingin melihat keponakan yang memang imut seperti marmut.

Di sela-sela acara, Pakde Gondrong yang doyan ngomong itu, mengajak Via cerita apa aja. Dari sekolah, kasir tokoserba ada di sebelah rumah yang dia taksir karena katanya alisnya tebal seperti Shinchan, sampai rencana ketemuan sama calon besan yang harus bebas dari kesalahan sekecil apa pun.

Akhirnya setelah beberapa jam mereka mengobrol dan kelihatannya mulai capek dan kehabisan kata-kata, Pakde Gondrong mengeluarkan uang 50 ribuan dan 100 ribuan. Pak gede yang tampangnya mirip paranormal itu, menawarkan Via memilih uang 50 ribuan atau 100 ribuan sebagai hadiah ultah. Gak pake mikir panjang keponakan yang lebih senang dipanggil kepon itu pun, langsung menyambar 50 ribuan.

Bingung, heran dan nggak mengerti semua berkutat di kepala Pakde Gondrong, keponakan semata wayang yang di matanya begitu cerdas kayak kancil di Istana Bogor itu ternyata nggak mengerti duit! Disuruh memilih duit 100 ribu atau 50 ribu, yang dipilih malah 50 ribunya. Parah!

Penasaran sama kelebihan yang dipunyai sang keponakan, Pakde Gondrong pun cerita sama Paklik Gundul, dan buat menegaskan ceritanya, Via disuruh pilih lagi, duit 50 ribu atau 100 ribu yang diambil dari dompet Pakde, dan benar, Sang Kepon memilih duit 50 ribu!

Masih penasaran, Pakde Gondrong cerita lagi sama saudara-saudaranya yang lain, yang kalau dihitung-hitung ada 20 orang dan semuanya dapat cerita yang sama. Keponakan yang doyan banget makan bakpao isi kacang hijau itu, selalu memilih 50 ribuan dari pada uang bewarna merah bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia.

Akhirnya... pesta ultah ke-6 yang padat meriah itu pun selesai. Pak Bulet, bapaknya Via yang dari tadi melihat kelakuan anaknya yang bunder itu lebih memilih uang 50 ribuan dibanding 100 ribuan itu pun bertanya. “Kenapa kamu memilih 50 ribu, bukan yang 100 ribu nak?” dengan wajah yang cerah berbunga-bunga, Via menjawab. “Kalau aku memilih 100 ribu aku gak baka dapat uang 1 juta!” dan Pak Bulet pu tertawa senang. Dia kagum dengan anaknya lebih cerdas dari bayangannya.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 14)